“ Tawa yang teramat polos, mengiringi langkah kaki kecilku menyusuri jajakan aspal. Sepanjang hari, sepanjang malam.”
Lantunan lagu sumbang yang keluar dari celah bibirku seakan mampu menemani suara klakson dan deru-deru mesin. Bunyi gemericik dari pipihan tutup botol menambah kebisingan. Hanya beberapa koin atau selembaran uang kertas nominal rendah yang aku inginkan. Namun semua itu terasa begitu mahal. Terkadang bukan koin yang aku dapat, melainkan perlakuan-perlakuan buruk yang sangat merendahkan martabatku sebagai seorang manusia. Dibentak, diusir, dihina, bahkan pernah aku diludahi. Itu sudah jadi resiko bagi orang yang mencari nafkah di jalan sepertiku.
Tanggal 12 bulan ini genap usiaku 15 tahun. Umumnya mereka sebayaku tengah asyik berbagi canda dan tawa dengan teman-teman. Mengais ilmu dengan penuh kecerian di bangku sekolah. Tapi itu kehidupan mereka, bukan kehidupanku. Aku berbeda, sangat berbeda dengan mereka. Ada banyak kesenjangan sosial yang harus aku mengerti dari mereka.
Orang tuaku bukanlah orang berpunya. Sedangkan aku hanya kakak dari seorang adik berusia 5 tahun, Ira. Kami hanya berteduh pada tumpukan kardus yang kumuh dan kotor. Tak ada jendela dengan tirai yang mewah, kami hanya memunyai sebuah karung bekas bungkus beras yang kami temukan di pasar sebagai “gorden”. Kala hujan, kami menggigil kedinginan, sedangkan kala panas kami mengais kepanasan. Itulah hidupku, keluargaku, keluarga kami.
Aku hanya bisa megenyam bangku sekolah hingga kelas 3 SD. Orang tuaku sudah tidak bisa membiayai sekolahku, membelikan seragamku, dan memberi uang sakuku. Keadaan bertambah parah saat mengetahui bahwa ayah lumpuh akibat kecelakaan yang menimpanya 2 tahun silam. Sedangkan ibu, dia terbiasa menjadi buruh angkut di pasar. Tuntutan keadaan memaksaku untuk berprofesi seperti ini, pengamen jalanan.
Meskipun hidupku pahit, aku tak ingin adik kecilku memiliki nasib seperti kakaknya ini. Aku ingin adikku sekolah , mengenyam pendidikan setinggi-tingginya . Apapun akan aku lakukan agar dapat membahagiakan adikku tercinta. Di usianya yang masih sangat muda, dia sudah fasih membaca teks di lembaran Koran yang aku bawa tiap sore. Senang rasanya mendengar cegik tawanya saat membaca dengan nada kepelatan. Sungguh, Dia adalah mutiara bagi kehidupanku yang pelik ini.
“ Jadilah orang yang pintar, dik. Kelak kau yang akan mengubah kehidupan keluarga kita” munajatku setiap kali bersimpuh di atas sajadah.
Suatu hari, saat aku memarkirkan tubuhku pada sebuah toko buku di sisi jalan. Aku melihat sebuah kumpulan buku dongeng “kancil”. Aku terkesima melihat sampul serta gambar yang ada di sana. “ Ira pasti suka kalau aku memberikan buku ini padanya”. Aku mendekati buku itu, terucap dari bibirku “ini berapa ,Pak?” . “empat puluh ribu, nak”. Aku tercengang, kaget, dan haru. Kalau aku membeli buku ini, aku harus berpuasa selama dua minggu.
Aku harus bisa membeli buku itu, aku harus bisa membahagiakan Ira. aku bertekad akan bekerja lebih keras dan menabung demi membeli buku tersebut.
Pulang mengamen, aku segera menemui Pak Ong, pemilik kedai kopi di sekitar rumahku. Aku menawarkan diri untuk menjadi pencuci gelas selama seminggu penuh disana. Gajinya cukup untuk menabung dan ongkos makan.
Ternyata benar, gaji bekerja selama seminggu telah lebih dari cukup untuk membeli buku untuk Ira. Aku kembali ke toko buku, dan berhasil membelinya. Lega sekali rasanya. Terbayang sudah, senyum Ira saat aku memberikan buku ini padanya.
Aku segera berjalan pulang. Aku tersenyum sendiri sambil memeluk buku itu di jalan. Tak lupa, aku menulisakan sisipan “Buku Buat Ira, Dari kak Dita” di balik sampulnya. Karena terlalu senang, aku tak menyadari bahwa aku berada di tengah jalan raya. Sebuah mobil dengan cahaya yang sangat menyilaukan baru mampu menyadarkanku, klakson berteriak. Dan…
Aaaaa.. sakit, gelap. Aku mencoba membuka mata. Tubuhku Penuh darah, dan kenapa susah sekali bergerak? Kulihat kakiku telah terpisah. Tak lama kemudian, aku mendengar suara orang berteriak kearahku. Semakin dekat, semakin dekat. Mereka mencoba mengangkat tubuhku. Semakin lemah, dadaku semakin sesak. Aku merasa, lampu mobil itu datang lagi. Dan cahayanya semakin besar.
“Tunggu, siapapun kamu. Aku hanya ingin memberikan buku ini pada adikku. Aku akan ikut kamu setelah melihat adikku tersenyum melihat hadiahku. Tolong, jagalah dia sampai dia bisa merubah hidup keluargaku, keluarga kami. Tolong, tolong!!” rintihku dalam hati.
Aku tak tahu kenapa, kali ini aku bisa membuka mata. Namun masih sangat berat dan lekat. Aku tidur di atas papan yang sangat empuk. Ruangannya sangat dingin. Disana tanganku terikat erat oleh selang –selang yang terus menerus mengalirkan cairan merah. Aku melihat gadis kecil berparas yang tak asing menghampiriku. Memanggilku kakak, “Ira” gesahku. “Ira sudah baca buku kakak, buku kakak bagus sekali.” Ucapnya sambil menangis. “Ira janji, Ira akan jadi anak pandai. Kakak cepat sembuh ya” tambahnya semakin menangis.
Aku merintih, ingin rasanya aku memeluk tubuh mungilnya, namun tubuhku seakan dipaku. Susah sekali bergerak. Tak lama kemudian, seorang lelaki dengan jas borjuis memasuki ruangan dan bercerita panjang lebar. Dari yang kudengar, dia orang yang menyebabkanku seperti ini, dia orang kaya yang telah menabrakku. Dia yang memberiku ruangan dingin ini dan dia juga yang telah mempertemukanku kembali dengan Ira, memperbolehkanku melihat kembali sosok Ira.
Deg.. .. .. sakiit sekali. Kenapa denganku?? Seisi ruangan pun meneriaki dokter dan berlari ke arahku. Ternyata, cahaya besar itu telah memenuhi permintaan tolongku, mempertemukanku dengan adikku. terima kasih, terima kasih telah memberiku kesempatan. Cahaya itu datang lagi, kini semakin terang. Mereka mengajakku pergi, entah kemana. Aku menurut, meski aku masih dengar suara Ira melarangku pergi.
“aku harus pergi,dik. Jaga keluarga kita. Ingat janjimu…!!!”
Dan, aku pergi. Namun tidak meninggalkan Ira. Setiap pagi dan sore hari, dia ke tempatku dengan berbaju rapi dan berdandan sangat cantik. Sebuah mobil menunggunya di balik pekarangan pemakaman. Mobil itu milik orang berjas i, karena dia selalu ada di balik kemudi saat Ira menjemputku. Tanah kuburku selalu basah dengan air mata Ira. Tapi biarlah, toh aku sudah mempercayainya dan tak kan bisa lagi memeluk tubuhnya.
*** karya ini mengantarkan Putri menjadi pemenang lomba penulis cerpen dalam lomba Kartini 30 April 2011***
No comments:
Post a Comment